Rabu, 01 Januari 2014

BAHASA SEBAGAI ALAT PEMERSATU

Di dalam kehidupan, kita tidak terlepas dengan yang namanya bahasa, karena bahasa merupakan alat komunikasi. Terlebih bahasa adalah hal yang terbaik dalam menunjukkan identitas kultur suatu bangsa. Bahasa Indonesia, simbol kesatuan bangsa, pengikat tali persaudaraan bangsa, dan pemersatu di antara keanekaragman bangsa. Bahasa Indonesia, tanda persatuan bangsa dari sabang sampai marauke wujud keseragaman bangsa yang selalu di hormati, dihargai, dan dihayati keberadaannya.
Asal mula bahasa Indonesia diambil dari bahasa melayu karena  bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara. persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan selain itu bahasa melayu merupakan bahasa yang mudah dipelajari.
Dari sudut pandang  linguistik ,bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa melayu abad ke-19 dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan sebagai bahasa dan sastra Indonesia. sejak awal abad ke-20 Penamaan Pada Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda Kami putra dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah harta bangsa, yang akan selalu dijaga keberadaannya. Lantas masihkah kita akan terus peduli untuk menjaga harta bangsa ini ditengah maraknya hembusan gairah mempelajari bahasa asing di zaman modernisasi ini, penyerapan budaya asing sangat mudah terserap, dengan demikian maka perlu adanya penyaringan terhadap budaya asing yang akan dianggap sebagai nilai yang pantas atau tidak pantas bagi bangsa Indonesia.
Mempelajari bahasa asing bukanlah sebuah hal yang dilarang, tetapi pada kenyataannya kita memang perlu mengetahuinya. Pengetahuan itu jangan sampai menjadikan bahasa persatuan bangsa Indonesia tersisihkan oleh bahasa asing. Akan tetapi, buatlah segala apa yang kita ketahui membentuk pola yang sempurna dalam mengenal dunia di zaman globalisasi saat ini. Bahasa Indonesia tidak akan hancur maupun sirna, tapi akan terus ada selama anak bangsa menghormati keberadaannya, melestarikan, dan menjaga keutuhan simbol persatuan bangsa.
Sejak dikumandangkannya Sumpah Pemuda pada Konggres Pemuda II, Bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa kita dan sekaligus alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang efektif. Moh. Yamin sebagai penggagas saat itu memandang perlunya sebuah bahasa yang dapat dipakai sebagai identitas, alat komunikasi yang dipahami oleh sebagian besar bangsa di Indonesia. Sebuah alat menyatukan perjuangan melawan ketidak-adilan.
Berasal dari Bahasa Melayu Riau dalam berbagai ragam bahasa melayu yang akhirnya terpakai dengan nama Bahasa Indonesia. Hanya ada dua bahasa menurut Moh. Yamin yang mempunyai latar belakang yang kuat untuk dijadikan bahasa persatuan. Bahasa Jawa dengan kerumitan tingkatannya tetapi banyak dipakai oleh banyak orang dan Bahasa Melayu yang sederhana karena tidak mengenal tingkatan tetapi hanya dipakai oleh sebagian kecil masyarakat.
Pemimpin bangsa pada waktu itu memang tengah benar-benar mengesampingkan sebuah kepentingan pribadi, golongan dan daerah untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Indonesia memiliki suku bangsa yang terbanyak di dunia. Yaitu terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis. Dengan bahasa daerah 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk. Kondisi yang menjadikan sebuah kerentanan terhadap perpecahan perjuangan terbentang lebar. Dan tentu saja penjajah akan menjadi kian lama bercokol di bumi nusantara. Oleh karena diperlukan alat pemersatu dalam berjuang.
Begitu tepat guna para pejuang kemerdekaan menjadikan bahasa sebagai alat perjuangan. Sehingga 17 tahun sesudah Konggres Pemuda II, Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya sebagai bangsa yang pertama kali merdeka usai perang dunia II. Dan tidak dalam waktu yang lama, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Bahasa Indonesia disyahkan dalam UUD 45 sebagai Bahasa Negara. Bukan seperti bangsa lain yang kebanyakan mewarisi bahasa yang dipakai penjajahnya. Meski pada saat itu bangsa kita sudah banyak yang menguasai Bahasa Belanda. Tetapi tidak ada wacana sedikitpun untuk memakai Bahasa Belanda sebagai identitas bangsa.
Era kemerdekaan ini fungsi Bahasa sebagai alat permesatu dan identitas bangsa kian terkikis. Keadaan yang justru terkesan terbalik dengan era perjuangan dahulu. Tidak mengherankan jika aroma persatuan tidak muncul. Bangsa kita menjadi tidak terlihat sebagai bangsa Indonesia sendiri karena bahasa Indonesia yang tersisih. Berbagai peristiwa akibat perbedaan menjadi sering terjadi. Seharusnya bangsa kita akan lebih bisa menggunakan alat persatuan ini, untuk menyatukan semua elemen bangsa dalam situasi tanpa cengkraman penjajah.
Pemakaian bahasa asing atau bahasa prokem menjadi tidak terbendung. Bahasa-bahasa ini tumbuh mendahului Bahasa Indonesia yang berjalan di tempat. Kamus dan karya sastra dengan bahasa prokem laku terjual laris di pasaran. Menunjukan gambaran kaum muda, generasi bangsa kita lebih terbawa arus gaya dan gengsi. Takut dikatakan kuno dan ketinggalan, mereka terus mengikuti perkembangan bahasa prokem tetapi tidak mengikuti perkembangan bahasa Indonesia. Karya sastra bahasa Indonesia tersimpan rapat tanpa ada yang membacanya.
Media televisi juga sepertinya menjadi daya dukung yang besar dalam hal ini. Banyak dari figur masyarakat yang berprofesi artis mengeluarkan istilah-istilah yang merancu pada bahasa baku. Artis-artis berdarah keturunan atau pribumi yang tidak lancar berbahasa Indonesia ditiru segala tata bahasa atau dialeknya. Kadang tidak bisa dimengerti arti yang diucapkan tetapi dianggap baik. Bahasa Indonesia carut-marut masuk dalam sisi kehidupan kita setiap menit di setiap hari kita.
Agaknya memang gejala ini tidak hanya terjadi pada generasi muda kita. Para pemimpin bangsa kita pun sekarang sudah banyak membawa pengaruh kearah berbahasa yang semrawut. Istilah-istilah asing yang sulit kita mengerti sering diperdengarkan. Sepertinya banyak dari mereka terjebak anggapan bahwa penguasaan bahasa asing adalah cerminan dari intelektual seseorang. Sehingga mereka lebih sering memperlihatkan kecermerlangan otak mereka dengan mencampur bahasa Indonesia dengan istilah-istilah bahasa Asing.
Tidak berhenti sampai di situ saja di dalam dunia kerja, banyak sekali lowongan-lowongan pekerjaan yang mencantumkan ketentuan-ketentuan yang lebih mengedepankan penguasaan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Kenapa? Apakah bahasa Asing lebih mencerminkan isi otak dan kehidupan berbangsa? Apakah untuk kemajuan perusahaan lebih ditentukan oleh seorang yang menguasai bahasa asing atau seorang yang mempunyai nasionalisme dengan memakai bahasa Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaam di atas mungkin sama dengan pertanyaan sebagian besar bangsa kita. Jarang penguasaan bahasa Indonesia itu dikedepankan dalam syarat dan ketentuan lapangan kerja. Dan pengusaha pribumi sepertinya juga latah dengan menerapkan hal yang sama pada perusahaannya. Sarjana yang mempunyai kesempatan belajar di luar menjadi diburu tanpa melihat nasib identitas bangsa dalam berbahasa.
Tidak dipungkiri jika era global menjadikan semua segala pengaruh budaya dari luar mudah untuk masuk diserap oleh elemen bangsa ini. Tidak terkecuali dengan bahasa Indonesia. Proses penyerapan memang diperlukan untuk memperkaya istilah yang tidak cukup terwakilkan dengan tepat dalam bahasa Indonesia. Tetapi selama itu masih bisa memakai bahasa Indonesia kenapa harus memakai bahasa asing. Dan jika alat pemersatu ini terus kita pelihara dan kita pakai dengan benar maka ia juga akan berfungsi dengan baik. Tidak tersisihkan dari kehidupan berbangsa kita.
Sumber referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar